Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2014

#Mozaik 1 : Kupang, Cerita tentang Keterasingan.

Dari jendela pesawat kulihat gugusan pulau coklat  yang tersusun manis seakan akan seperti kacang yang terapung diatas jelly. dalam benakku  Gugusan kacang itu  seperti dikelilingi fla yang melahirkan gradasi warna dari hijau toska hingga ke biru tua.  Dari atas pesawat terlihat gagahnya puncak  Rinjani yang membuai para pendaki , melihat megahnya  Tambora yang kondang dengan kisah   “ a year without a sun ” di eropa, serta eksotisme labuhan bajo di batas antara flores dan Sumbawa. Aku terkesima menatapnya. Meskipun mata sebenarnya mulai mengantuk tapi pemandangan seperti ini terlalu sayang untuk di lewatkan. Aku terlalu antusias menikmati “titik tertimurku” yang semakin menjauh setiap detiknya. mesin pesawat mulai padam, cuaca yang panas-terik berbaur dengan udara yang kering menyapa kulitku ketika turun dari pesawat. tepat pukul 10:30 pesawat yang aku tumpangi mendarat di bandara eltari kupang. sebuah patung sasando besar menyapa hangat ketik...

Indonesia Timur : Sebuah Prolog

Garis batas di atas sebuah peta merupakan sebuah garis hitam yang memembentang memisahkan dua buah wilayah yang berbeda. Perbedaan wilayah ini bisa berarti banyak hal, mulai dari perbedaan idiologi, tata-kelola, budaya, suku, ras, bahasa, agama bahkan takdir. Sebuah garis batas terkadang melahirkan sebuah harmoni, namun tidak jarang justru menciptakan kecemburuan. Pernahkah kalian sadari hal itu? Daerah perbatasan umumnya kental dengan nuansa dan suasana konflik. Garis tak kasap mata itu telah merubah masyaraknya menjadi orang yang  tumbuh dalam ketakutan dan diselimuti rasa curiga.  Rasanya sulit sekali  untuk membayangkan kehadiran suasana yang lembut dan hangat di daerah tersebut. Namun apakah benar demikian? Perspektif itu terkadang hanya tumbuh di dalam angan-angan kita, dalam bayangan, dalam ruang kosong di otak kita. Apakah itu nyata atau hanya sekedar imajinasi yang lahir dari  sekedar “katanya-sih” . Terkadang apa yang menjadi realita telah menjadi bias...

Perbincangan Imajiner Tentang Indonesia

Disebuah rumah mungil seorang anak tengah memainkan sebuah mobil die-cast yang sudah lusuh. Didorongnya mobil itu mengelilingi tubuhnya dengan sekali-kali dia lewatkan dibawah kakinya. Muka yang cemong oleh bekas ingus yang tidak sempat ia bersihkan itu kini mengering seakan menjadi ornamen  tambahan di balik wajahnya yang lucu. Anak itu itu kini telah menginjak usia 7 tahun dan dia mulai menghawatirkan sesuatu. Suatu hari dia bertanya pada ibunya, “bu kenapa aku di lahirkan sebagai seorang Indonesia?”. Sang ibu Nampak bingung dengan pertanyaan anaknya. Dengan mata yang sesekali menyipit sembari mengerutkan dahinya sang ibu menunjukan raut muka heran. “kenapa kau tanyakan hal itu nak?, tentu saja kau adalah seorang Indonesia. Sebab ayah ibumu adalah seorang Indonesia juga”. Sang anak tampak tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh ibunya. Sang anak terlihat menunduk lesu layu sembari sesekali memainkan ujung telunjuknya di  lantai. Sang ibu menghela nafas dan mengembang...