Garis batas di
atas sebuah peta merupakan sebuah garis hitam yang memembentang memisahkan dua
buah wilayah yang berbeda. Perbedaan wilayah ini bisa berarti banyak hal, mulai
dari perbedaan idiologi, tata-kelola, budaya, suku, ras, bahasa, agama bahkan
takdir. Sebuah garis batas terkadang melahirkan sebuah harmoni, namun tidak
jarang justru menciptakan kecemburuan. Pernahkah kalian sadari hal itu?
Daerah perbatasan
umumnya kental dengan nuansa dan suasana konflik. Garis tak kasap mata itu
telah merubah masyaraknya menjadi orang yang tumbuh dalam ketakutan dan diselimuti rasa
curiga. Rasanya sulit sekali untuk membayangkan kehadiran suasana yang lembut
dan hangat di daerah tersebut. Namun apakah benar demikian? Perspektif itu
terkadang hanya tumbuh di dalam angan-angan kita, dalam bayangan, dalam ruang
kosong di otak kita. Apakah itu nyata atau hanya sekedar imajinasi yang lahir
dari sekedar “katanya-sih”. Terkadang apa yang menjadi realita telah menjadi
bias akibat kita terlalu memberi ruang bagi persepsi orang lain. Kita terkadang
lebih memilih percaya pada “katanya –sih” daripada mencobanya dan
merasakanya sendiri. adalah sebuah ironi ketika kita menyadari bahwa apa yang
kita bayangkan dibalik garis batas tersebut justru bersebrangan 180 drajad dari
apa yang kita ekspektasikan.
Alferd russel Wallace pada tahun 1856
mengenlan sebuah garis batas imajiner yang membentangkan antara selat makasar
yang memisahkan kalimntan dan sualawesi dan terus bergeser keselatan membentang diantara pulau Lombok dan bali. Garis
ini memasahakn dua wilayah yakni wilayah Indonesia barat dan wilayah Indonesia timur.
Pada awal perkembangnya garis ini membagi Indonesia berdasarkan ke “miripan” keragaman hayati antara asiatis dan australialis. Tetapi seiring berjalanya waktu dimensi garis batas
ini tersebut mulai berkembang dan meluas, faktor pembeda menjadi lebih banyak
tidak hanya sekedar kekayaan hayati seperti flora dan fauna. Melainkan lebih dari
itu, mulai dari faktor budaya, faktor sosial bahkan hingga faktor kesejahteraan
ekonomi. Bukankah itu yang kita sering rasakan “sebelum” kita mengetahui secara
pasti apa yang sebenarnya ada dan terjadi di gugusan pulau timur Indonesia?.
Apa yang kalian
bayangkan mengenai Indonesia timur? Apa yang memenuhi benak kalian ketika
terdengar suara sasando sekaligus derik-lengking
suara pemuda yang sedang menari tarian perang presean? Seperti sebuah dua mata koin yang berbeda namun memberi
warna. Pijakanlah kakimu disana dan kamu akan
menyadari bahwa apa yang kalian ekspektasikan mengenai wilayah timur yang penuh
konflik, penuh rasa takut dan deru ancaman itu semua adalah hal yang salah. Ya salah
besar, di gususan pulau timur Indonesia ini
aku justru menemukan sebagian indonesiaku disana. Aku melihat bagaimana Indonesia
yang bisa hidup bahagia tanpa hars diperbudak oleh uang. Aku melihat Indonesia yang
bisa merasa cukup dengan apa yang alam telah berikan dan aku melihat Indonesia yang
nyata dan sejujur-jujurnya (setidaknya sampai saat ini, dan aku akan terus
mencari). Aku melihat potongan mozaik indonesiaku yang hilang dengan
menginjakkan kakiku di Indonesia timur. Sebuah mozaik besar yang akan aku terus
telusuri hingga kudapatkan indonesiaku yang seutuhnya. Indonesia timur adalah sebuah
kepingan Indonesia yang penuh warna namun tertutup debu prespektif kapitalis.
(foto: seorang anak sedang bermain kapal kayu yang di buat sendiri dari kayu pohon bidara) no gadget, no iphone, no technology but look their face .. to be happy is simple, it depends how we "create" our own happiness
Komentar
Posting Komentar