Dari jendela
pesawat kulihat gugusan pulau coklat yang tersusun manis seakan akan seperti kacang
yang terapung diatas jelly. dalam benakku Gugusan kacang itu seperti dikelilingi fla yang melahirkan gradasi warna dari hijau toska hingga ke biru
tua. Dari atas pesawat terlihat gagahnya
puncak Rinjani yang membuai para pendaki
, melihat megahnya Tambora yang kondang
dengan kisah “a year
without a sun” di eropa, serta eksotisme labuhan bajo di batas antara
flores dan Sumbawa. Aku terkesima menatapnya. Meskipun mata sebenarnya mulai
mengantuk tapi pemandangan seperti ini terlalu sayang untuk di lewatkan. Aku terlalu
antusias menikmati “titik tertimurku” yang semakin menjauh setiap detiknya.
mesin pesawat
mulai padam, cuaca yang panas-terik berbaur dengan udara yang kering menyapa
kulitku ketika turun dari pesawat. tepat pukul 10:30 pesawat yang aku tumpangi
mendarat di bandara eltari kupang. sebuah patung sasando besar menyapa hangat ketika kakiku melangkah di sepanjang runway pesawat menuju terminal
kedatangan. Dalam benakku kini terbayang banyak sekali hal baru yang akan aku
temui, banyak sekali budaya baru yang dapat aku nikmati dan tentu saja petualangan
baru yang akan selalu melahirkan decak-kagum dan memacu otakku untuk selalu berpikir. Dalam
diam Aku tersenyum puas.
Kedatanganku
ke Nusa Tenggara Timur (NTT) tentu bukan untuk sekedar jalan-jalan semata,
melainkan untuk sebuah tujuan, sebuah pengabdian untuk indonesia. Selama 47
hari kedepan aku bersama tim-ku (NTT-10) mengemban sebuah proyek pengembangan
dan pembaerdayaan masyarakat di kabupaten alor, pulau paling timur gugusan nusa
tengara yang secara administratif berbatasan langsung dengan negara timor-timur.
Banyak orang menggambarkan alor sebagai “kepingan
surga ditepi Indonesia”. Sebelum menuju
alor esok hari aku bersama tim transit selama satu hari dikupang sembari
menunggu jadwal keberangkatan kapal ferry yang hanya tersedia seminggu dua
kali. Ya hanya dua-kali-dalam-seminggu.
Kupang,
kawan apa yang ada dibenakmu ketika mendengar kata kupang? yang pertama
kubayangkan tentang kupang adalah tanah tandus-kering yang tumbuhan saja malas
untuk melahirkan kuncup hijaunya apalagi tumbuh rimbun memayungi kota ini. Banyakanku
mengenai kupang ternyata memang benar adanya. Tanah disini begitu kering,
sedikit retak dan hanya ditumbuhi oleh ilalang kecoklatan di sudut sudut kota
tak berpenghuni. Angin kencang berhembus sepanjang juli. Menggiring daun-daun
kering untuk meninggalkan dahanya dan tersapu angin hingga tercecer di
sepanjang jalan. Terlihat orang berlalu-lalang di kota ini dalam diam, menatap
serius kedepan dan menyiratkan pandangan yang sekan akan bermakna “menepilah,
aku mau lewat”. Takut ? tentu saja, pemandangan dan suasana yang tidak lazim
menjadi sebuah penyebabnya. Orang mengibaratkan fenomena ini sebagai culture-shock tapi siapa yang peduli? Aku
tetap saja merasa asing. Menjadi minoritas setelah sekian lama hidup nyaman
dalam komunitasku.
Di kupang aku
benar-benar merasa asing, begitu pula ke-20 rekan satu timku. tidak ada satupun
keluarga ataupun kerabat yang kami kenal disini. Yang kupunya hanya sebuah nama dan alamat. Nama
dan alamat yang tidak sengaja kuperoleh dari seseorang yang ku kenal saat
berbincang-bincang di tribun sembari menyaksikan pertandingan basket. Boleh dibilang
apa yang kami lakukan adalah hal gila, kami datang ke Indonesia timur tanpa tau
kmana kami harus pergi dan kemana kami harus tinggal. Keterasingan akan memaksamu
untuk berpikir, keterasingan akan membuatmu memutar otak terus-menerus untuk mengatasi
berbagai permasalahan yang kau hadapi di depan mata. Aku memandang keterasingan
sebagai sesuatu yang unik. Keterasingan menghasilkan rasa takut, rasa gusar dan
rasa cemas yang teraduk menjadi satu dan menyisakan sesak didalam jiwa. Terkadang
kita ingin lari dari kondisi ini namun
kita dipaksa untuk meghadapinya. Dan ketika kita berhasil menyesuaikan diri
dengan budaya mereka maka sesunggungnya kita telah “naik kelas” karena telah mendapatkan pembelajaran dan pengalaman
baru. Karena sesungguhnya menjadikan dirimu diterima dalam sebuah komunitas
yang baru merupakan sesuatu yang sangat menyenangkan.
“When you travel, remember that a foreign
place is not designed to make you comfortable. It is designed to make its own
people comfortable” – Clifton Fadiman
Komentar
Posting Komentar