Tas carrier serta koper tim kami
berserakan tak beraturan di salah satu sudut koridor bandara el tari kupang.
posisi tidur kami ternyata tidak kalah serampangan, kami merebahkan badan
sembari membunuh bosan. Aku sendiri memilih tidur bersandar pada tas carrier ku
sambil sesekali mencoba memejamkan mata. Rombongan kami memang harus dipecah
menjadi dua pesawat dengan jadwal
keberangkatan yang berbeda. Rombonganku yang merupakan rombongan satu berangkat
pukul tujuh pagi dan mendarat kupang hampir pukul setengah sebelas akibat
perbedaan waktu satu jam antara wilayah
Indonesia barat dan Indonesia tengah.
Sedangkan rombongan dua justru pada pukul setengah sebelas baru memulai
penerbagan dari bandara juanda, Surabaya. Dari tempatku merebahkan badan
kulihat sebuah patung yang unik. Tepat di depan pintu terminal keberangkatan
bandaara eltari aku melihat sebuah patung kadal besar. Ya sebuah patung dari
hewan ikonik yang menjadikan nama gugusan pulau nusatenggara timur mendunia
karena konon katanya hewan ini adalah satu satunya hewan purba yang masih
tersisa di muka bumi. Kulitnya yang kasar dan senyumnya yang mengancam membuatnya terlihat begitu gagah terutama
dengan pose “andalannya”: berjalan-ngangkang-dengan-ekor-naik-keatas. Aku
justru menahan geli memandang hewan ini. Bukan karena posenya kawan. Melainkan
karena posisi patung ini yang justru saling berhadpan dengan pintu terminal
keberangkatan. Dari jauh aku justru membayangkan seekor komodo besar yang hendak ikut bepergianan naik pesawat
daripada seekor komodo yang semestinya menyambut orang- orang ketika memasuki
terminal keberangkatan.
(foto: patung komodo di depan bandara Eltari kupang)
(foto: patung sasando di bandara el tari, foto ini bukan hasil jepretan saya = ambil dari web, sekarang sih bentuknya udah berubah)
Waktu kini telah menunjukan pukul
14:30 WITA rombongan dua telah landing
dan satu persatu dari mereka telah berkummpul bersama kami. Aku sendiri terus
menjalin komunikasi dengan “nama” yang mas Guntur (seorang kenalan yang baru
kukenal ketika menonton pertandingan basket beberapa hari yang lalu) berikan.
Dia menyarankanku untuk menghubungi sebuah nama ketika mendarat dikupang. Dan
nama itu adalah mba tina. Aku tidak
tau siapa itu mba tina, seperti apa rupanya, bagaimana perawakanya dan seperti
apa sifatnya. Yang aku tahu dia adalah mantan rekan kerja mas Guntur. Dan sudah
lebih dari tiga tahun tidak menjalin komunikasi dengan mas guntur. Awalnya aku
agak sedikit ragu untuk mengontak mba tina. Tapi apakah aku punya pilihan lain?
Jawabanya tentu saja tidak. ketika
pertama kali aku menghubungi mba tina dia ternyata seseorang yang sangat ramah.
Dan ketika aku menginformasikan bahwa aku datang bukan sebagai seorang individu
tapi bersama sebuah tim yang beranggotakan 21 orang suaranya justru
mengindikasikan adanya antusiasme yang tinggi. Aku sedikit lega dengan response
ini. Setidaknya ditanah yang asing ini kami bersama orang yang tepat.
Mba tina memintaku dan teman
teman untuk segera menuju kerumahnya di jalan soeharto no.10, kota kupang. dia
bilang padaku bahwa kedatanganku dan rombongan disini juga telah diketahui oleh
rekanya pak faishal yang ternyata juga merupakan kepala dinas sosial (DINSOS)
kota kupang. beliau bersedia menyediakan
mess selama kami tinggal dikupang secara gratis!. Selain itu beliau juga
berharap agar kami mau mampir dan membagi cerita sera rencana kami di kabupaten
alor nanti. aku sedikit terkejut dengan
informasi ini. Seketika saja langsung aku sanggupi permintaan pak faishal.
Tuhan ternyata telah mempermudah langkah kami, Dia telah melapangkan jalan kami
dalam melakukan pengabdian untuk Indonesia.
Desampainya kami di rumah mba
tina kami langsung dismabut hangat oleh seluruh keluarga mba tina, bagaikan
seorang anak yang telah lama tidak pulang dirumahnya kami di sambut bak
keluarga sendiri. Suasana yang hangat dan teduh rasanya langsung memenuhi hati
kami. Seluruh keluarga mba tina hadir ketika kami menginjakan kaki di teras
rumah sederhana mba tina namun teduh dipayungi rimbunya pohon nangka dan pohon
mangga yang berayun kekana-kekiri mengikuti hembusan angina juli yang kuat.
Kemudian aku menemuinya dan mengucapkan terimakasih karena dia telah mau
menampung kami untuk sementara. Sebuah jawaban tersirat dari senyuman yang mengambang
seakaan berarti “it doesn’t matter”. Aku
membalas senyuman itu dan mulai memperkenalkan kawan kawanku satu-persatu
beserta jurusan serta bidang keahlian masing masing.
Dirumah tersebut mba tina tinggal
bersama 5 orang lainya yakni bapa, mama lisye, bibi mince, mba ana dan seorang
kakak laki laki lainya yang sedang pergi ke eropa untuk mengikuti kopetisi
paduan suara. Ya tanah timur bukankah memang terkenal dengan talenta bernyanyi
yang luar biasa kawan?. Disana kami disambut dengan penuh ramah tamah dan senyuman-senyuman yang
menenangkan hati kami. Kami berbincang lepas bersama “keluarga baru” kami ini.
Kami berbgai cerita dan berbagi pengalaman dalam tawa yang lepas. Kami seakan
telah melupakan segala garis perbedaan dan kenyataan bahwa kami mengenal
keluarga ini hanya baru beberpa jam yang lalu.
Mama lisye tiba tiba mengagetkan
kami dengan sebuah pertanyaan “sebentar sore selepas magrib, kalian pi rumah mama lagi o, mama dan bibi mince nanti buatkan makanan untuk buka puasa,
kalian mau makan apa?”. Aku terkejut mendengarnya karena ini benar benar diluar
ekspektasiku sebelumnya. Mendapatkan tempat istrahat saja aku sudah merasa
sangat beruntung. apalagi aku menyadari perbedaan keyakinan yang ada, kami
muslim dan keluarga mama lisye adalah keluarga nasrani yang begitu taat. “ah
tidak usah repot-repot mama, biar nanti kami cari makanan sendiri disekitar ini
saja” jawabku dengan sedikit lirih. “ ah sudahlah, anak-anak mama ini sok kuat
sekali, kalian itu perlu makan banyak dan istrahat yang cukup ..besok kalian
harus naik ferry 20 jam di tengah laut, biar mama yang masakan buat kalian
yah?, kalian mau makan apa?” jawab mama dengan tawa yang sedikit ditahan namun
gagal. dengan wajah sedikit malu malu aku menganguk dan “manut” saja dengan
kemauan mama lisye. Kemudian kamipun pamit untuk kembali di mess untuk
istrahat.
(foto: didepan rumah mama lyse)
(foto : didepan rumah mama lyse , pake tongsis dulu :D )
(foto: kantor dinas sosial kupang)
(foto: wisma tamu dinas sosial kupang, nyaman sekali, terimakasih pak faizal menginkan kami menginap disini )
Di dalam mess aku langsung membaringkan
badan, tengkurap sembari membenamkan wajahku dibantal. hingga beberapa jam
setelah dijamu dirumah mama lyse aku masih tidak henti-hentinya mengerutkan
dahi. Masih merasa tidak percaya dengan apa yang baru aku alami. Ditempat ini, ribuan kilometer dari tanah
kelahiranku aku belajar hal yang baru tentang “toleransi”. Ya sebuah kata yang
kerap aku dengar ketika Sekolah dasar. Saat kelas 4 di pelajaran PPKN seluruh
anak Indonesia diajarkan akan makna toleransi. Diberi sebuah teladan melalui
tokoh- tokoh bernama “budi” atau “tono” dalam sebuah bingkai cerita yang sarat
makna. Aku ingat sekali dulu aku memandang pelajaran PPKN sebagai pelajaran
yang (mohon maaf) kurang penting. Karena menurutku dengan memberikan
jawaban-jawaban normatif saja
sebenarnya kita sudah dapat memperoleh nilai yang baik. Bandingkan dengan
matematika dan ilmu science yang
lain, pontang-panting belajar sampai tengah malampun tidak menjamin kita kan
mendapatkan nilai yang baik. Meskipun sifat jawbanya bersifat normative tapi penggalan
memori mengenai PPKN justru lebih bermakna terutama ketika kita berada
dikondisi seperti ini. Kondisi dimana kita tinggal di zona nyaman orang lain.
Dari jutaan anak Indonesia yang
menempuh pelajarn PPKN di generasiku. Aku merasa benar-benar beruntung menjadi
salah satu anak Indonesia yang sempat merasakan makna toleransi dalam arti yang
sesungguhnya. Bukan hanya sekedar teori yang disematkan sebagai nilai moral
dalam bikai cerita fiksi, melainkan implementasi toleransi yang seutuhnya. Aku memandang
keluarga mama lyse sebagai “guru besar” terutama dalam hal toleransi. Mereka
tidak hanya mampu menerima perbedaan kami, menerima keterasingan kami, dan
keterbatasan kami namun dan bahkan mereka memfasilitasi ritual keagamaan kami yang jelas-jelas
berbeda. Dibulan ramadhan yang penuh rahmat ini kami datang, kami
mengintervensi kehidupan keluarga mereka yang damai didalam naungan kristus. Kami
diperlakukan sebagaimana anak mereka sendiri, dibuatkan hidangan berbuka puasa
lengkap dengan kurma (yang notabene bukan menjadi budaya mereka), membangunkan
dan menyediakan santap sahur bagi kami dan menyediakan tempat bagi kami untuk
menjalankan shalat. keluarga mama lyse mampu memandang warna yang berbeda
sebagai sebuah harmoni. Mereka mampu mengkonversi perbedaan menjadi sebuah
keindahan, ya karena perbedaan tidak semestinya dipandang sebagai “dinding”
melainkan darus dipandang sebagai “pintu” untuk saling berinteraksi dan melengkapi
satu dengan yang lainya.
Pagi hahri setelah kami menikmati
santap sahur dan hendak melanjutkan perjalan, bapa memanggil kami untuk
berkumpul beliau dengan senyumnya yang khas mengajak kami untuk berdoa bersama.
Dengan kulit yang telah keriput digilas usia beliau berdiri. Memandang kami satu-persatu
dalam satu kali sapuan pandangan. Dia kemudian besuara lirih “mari anak-anak-ku kita berdoa menurut
kepercayaan kita masing masing, yang menjadi keyakinanmu dan yang menjadi
keyakinanku”. Beliau mulai berdoa memohon keselamatan kami kepada-Nya. Memohon kesehatan
kami pada-Nya, memohon kelancaran kegiatan kami pada-Nya. meski kami
mengintrepretasikan “Nya” sebagai hal
yang berbeda namun dapat kurasakan ketulusan dalam setiap doa yang bapa Panjatkan.
Layaknya doa seorang ayah memohon keselamtan bagi anaknya.
Setelah hari ini aku mulai
memandang perbedaan dengan cara yang berbeda. Horizonku mengenai toleransi
telah semakin luas. Sudut pandangku dalam memandang perbedaan-pun kini telah
semakin lebar. Dilingkungan keluarga mama lyse aku merasakan sebuah atmosfer yang berbeda. Aku
merasa nyaman meski kami berbeda.
Both tolerance and respect are empty virtues until we actually
understand whatever it is we are supposed to be tolerating and respecting –Stephen
R. Protherro
Komentar
Posting Komentar