
Anak kecil berlari ditengah padang ilalang yang luas. Sang ibu terlihat sedikit menunduk
sembari menyiangi ladangnya yang gersang. Tidak ada padi kali ini karena
kemarau yang datang terlalu lama. Bahkan tanpa padi itu sang ibu masih saja
menyiangi sawahnya, mencabuti gulma yang bahkan tidak mengganggu tanaman
apapun. Sang ibu terlihat sangat khidmat sang ibu terus melakukanya meski saat
ini terik. Sang anak masih saja berlari. Menerabas semak sembari mengayunkan
ranting pohon oak yang ia pungut di perjalan ke udara. Berlari .. berlari.. dan terus berlari sembari
mengembangkan tawanya. Hari mulai sore, sang anak berlari terlampau jauh. Fajar
sudah mulah menyusup perlahan di ufuk barat. Ia lupa bahwa sang ibu saat ini
pastilah mulai mnghawatirkannya. Sang anak pun memutuskan untuk kembai dan menemui
ibunya yang ada ditepian ladang. Sang ibu ternyata belum berpindah. Terpaku pada
titik yang sama saat sang ibu memulainya dan masih-saja-menyiangi-gulma. Dia terdiam
sejenak, menahan langahnya dan mulai mendekat secara perlahan. Sang anak kini
mulai merubah raut wajahnya. Menatap sang
ibu dengan wajah yang cemas dan basah entah oleh-peluh-atau-air-mata akibat terlalu lama ia berlari dan terlampau
sibuk dengan “kebahagianya”. Sang ibu menanti sang anak pulang. Sang ibu
menunggu sang anak kembali. Sang ibu sudah cukup bahagia karena telah berhasil
menyembunyikan setumpuk permaslahan dalam hidup keluarganya untuk membahagiakan
anaknya. sang anak “lupa” itu hal yang lumrah. Tapi sang ibu tak akan pernah
lupa caranya menyembunyikan rasa sakit demi kebahagiaan sang anak. Karena sang
ibu adalah pembohong yang piawai. Terutama pada dirinya sendiri. ibu adalah orang yang luar biasa.
Komentar
Posting Komentar